Judul diatas merupakan salah satu filosofi yang diajarkan oleh Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang kita kenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Maknanya adalah dengan ilmu maka kemuliaan akan dicapai. Sederhana tapi dalam rasanya.
Tentunya bisa kita pahami bahwa filosofi di atas merupakan buah dari perenungan seorang pemimpin bangsa yang dikemudian hari diberi gelar Bapak Pendidikan Nasional. Gelar yang pantas disematkan untuk beliau yang telah berpikir keras membangun peradaban bangsa ini.
Bicara tentang filosofi dasar pembangunan peradaban maka nyaris selalu terkait dengan pendidikan. Banyak versi rujukan memang, tentang kaitan atau peran pentingnya pendidikan dalam membangun peradaban. Ada yang menyebutkan sebagai pilar, sebagai sendi kehidupan, ada juga sebagai jalan terindah dan sebagainya. Setiap kata tersebut bukan hanya sekedar majas, tapi di balik setiap kata tersebut menempel berbagai turunan sudut pandang. Semuanya bagus karena mempunyai semangat dan nilai-nilai kebaikan yang sama.
Lebih lanjut, pembangunan peradaban terkait pula dengan naluri perjuangan figur-figur teladan disetiap etape zaman. Mereka pantas menjadi teladan karena telah berjibaku dengan segudang tantangan demi perubahan sosial. Diantara para figur tersebut, terdapat dua role model yang perjuangannya dapat kita telaah yakni Ki Hadjar Dewantara dan Nabi Muhammad SAW.
Aristokrat yang merakyat
Ki Hadjar Dewantara lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, putra GPH Soerjaningrat, atau cucu Sri Paku Alam III. Sebagai figur dari keluarga bangsawan Pakualaman, Soewardi berkepribadian sangat sederhana dan sangat dekat dengan kawula (rakyat). Jiwanya menyatu lewat pendidikan dan budaya lokal (Jawa) guna menggapai kesetaraan sosial-politik dalam masyarakat kolonial. Kekuatan-kekuatan inilah yang menjadi dasar Soewardi dalam memperjuangkan kesatuan dan persamaan lewat nasionalisme kultural sampai dengan nasionalisme politik (1).
Sejarah perjalanan hidupnya teramat panjang jika dituliskan secara detail disini. Dus, kita hanya akan mengambil beberapa bagian perjalanan hidup Soewardi yang dapat kita serap hikmahnya.
Dari sudut pandang penulis, pahit getirnya perjalanan Soewardi waktu itu jauh lebih berat daripada perjuangan terberat kita di masa ini. Namun dibalik itu semua, Tuhan memang Maha Adil dan Maha Kuasa. Tuhan jadikan Soewardi sebagai manusia pembelajar yang mampu mengolah segala tantangan hidupnya menjadi pelengkap khazanah pemikirannya. Tantangan itu mulai dari masalah keluarga, pekerjaan, hingga idealismenya yang dipasung penjajah.
Belenggu penjajah waktu itu ibarat pagar kawat berduri yang mengelilingi dan mengancam berbagai aksi perjuangan Soewardi. Didera karat dari kawat itu, Soewardi muda konsisten kritis menyuarakan kemerdekaan rakyat Indonesia. Disaat pejuang lain mengambil cara keras dengan perlawanan fisik bersenjata, ia memilih cara halus dengan perang gagasan lewat lisan, pena dan kertas.
Ternyata cara halus tersebut efektif dan mampu mencerahkan masyarakat. Artinya, pencerahan ini mampu membangkitkan jiwa patriotisme para bumiputra. Tak pelak hal ini menjadikan Soewardi menjadi satu dari deretan target manusia yang harus disingkirkan oleh penjajah. Klimaksnya, tulisan Soewardi dengan judul “Als ik eens Nederlander was” (Andai aku seorang Belanda) benar-benar menikam jantung penjajah, sehingga mereka kemudian mengasingkan Soewardi pada 6 September 1913 (2).
Apakah bara itu padam di pengasingan? Sekali-kali tidak. Tempat pengasingan yakni di Belanda justru menjadi candradimuka bagi Soewardi dan koleganya. Di sanalah beliau banyak mempelajari masalah pendidikan dan pengajaran dari Montessori, Dalton, Frobel, pesantren, asrama dll. Pergulatan pemikirannya tentang pendidikan di negeri Belanda, membuat Soewardi Soerjaningrat pada serangkaian realitas tentang sistem pendidikan yang masih dipertahankan para kyai dengan pondok pesantrennya (2).
Setelah pulang dari pengasingan pada 6 September 1919, Soewardi tetap berani menyuarakan gagasan perjuangan rakyat. Tak tanggung-tanggung Soewardi masuk keluar penjara Belanda sebanyak tiga kali pada pertengahan sampai akhir tahun 1920 dikarenakan pidato dan tulisannya. Setelah dibebaskan pun ia tetap melanjutkan perjuangan di Yogyakarta.
Di kota yang nantinya berjuluk kota pelajar ini, ia bersama sejawatnya aktif dalam berbagai diskusi yang salah satunya adalah sarasehan selasa-kliwonan. Para peserta dalam diskusi tersebut merasa prihatin dengan sistem pengajaran kolonial yang sarat dengan diskriminasi rasial serta dominasi metode “perintah dan sanksi (hukuman)”. Soewardi sendiri ingin mengubah sistem pendidikan kolonial ini dengan sistem pendidikan among (1).
Sistem among merupakan sistem pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan manusia yang dapat mengatur dirinya sendiri, manusia yang berdiri sendiri dalam merasa,berpikir, dan bertindak, manusia yang berkepribadian dan berkarakter (3).
Tak ingin berhenti di gagasan, ia mendirikan Sekolah Taman Siswa di tahun 1922 dengan sendi Pendidikan panggulawenthah, momong, among atau ngemong yang bermuara pada tata tentrem (1). Sendi pendidikan tersebut fokus pada perilaku guru dalam mendidik murid sebagai pegangan dan modal utama. Perilaku guru tersebut dirumuskan Soewardi dengan tiga istilah yang masyhur yakni:
* Ing ngarsa sung tulada (di muka memberi contoh),
* Ing madya mangun karsa (di tengah membangun cita-cita),
* Tut wuri handayani (mengikuti dan mendukungnya)
Ketiga istilah di atas dikemudian hari menjadi salah satu konsep rujukan tentang kepemimpinan. Konsepsi tersebut dinamai Trilogi Kepemimpinan. Trilogi tersebut semula hanya diperuntukkan di kalangan pendidikan, dan merupakan perangkat pendidikan dalam melaksanakan tugas pendidikan yang berjiwa kekeluargaan. Namun dalam perkembangannya, Trilogi Kepemimpinan telah menjadi salah satu model kepemimpinan nasional, sebagai sarana mengatur tata kehidupan bersama, baik di kalangan Pemerintah, TNI / Polri, maupun sipil (2).
Rahmat bagi semesta alam
Ada sebuah buku yang menarik karya Michael H. Hart berjudul 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia : Buku Fenomenal dan Paling Kontroversial dalam Serajah Edisi Revisi. Perpustakaan Soepardjo Roestam BPP Kemendagri online turut menuliskan ulasan menarik tentang buku tersebut (4). Pertama kali diterbitkan, tahun 1978, buku ini menimbulkan kontroversi di seluruh dunia. Betapa tidak, sang penulis, Michael H. Hart, berani mengambil keputusan menempatkan Nabi Muhammad SAW. di urutan pertama, padahal dia sendiri nonmuslim dan Islam bukanlah agama terbesar di dunia. Bagi Hart, seratus orang yang dipilihnya bukanlah orang-orang yang paling pintar, kuat, dan hebat, tetapi paling mempengaruhi dan mengubah sejarah, serta mendorong kebangkitan sebuah peradaban.
Pengakuan seperti di atas perlu ditunjukkan sebagai bukti tentang pentingnya objektivitas dan penilaian dari berbagai sudut pandang. Dengan begitu, kita lebih yakin bahwa Nabi Muhammad pantas menjadi role model seorang pendidik yang paripurna.
Nabi Muhammad sendiri lahir dan tumbuh di tengah jahilnya peradaban di jazirah arab dan dunia saat itu. Demoralisasi, ketidaksetaraan dan pelecehan dalam berbagai aspek menjadi pemandangan yang biasa. Boleh jadi waktu itu, ada manusia selain Nabi yang juga ingin menyuarakan perubahan sosial. Namun suara perubahan yang berupa kritik dan perlawanan dari hati nurani tersebut pasti kandas dengan perundungan oleh golongan-golongan yang berkuasa. Untuk mengatasi situasi dan kondisi (sikon) semacam ini, masyarakat membutuhkan sang pencerah yang berhati baja dan berurat kawat.
Sedari kecil Nabi Muhammad telah tertempa dengan berbagai tantangan, sehingga membuatnya mampu menyusun manajemen pengajaran dan pelatihan dengan baik. Manajemen tersebut diaplikasikan dengan strategi sembunyi-sembunyi di awal perjuangan, dan dilanjutkan dengan strategi terang-terangan saat sikon telah aman. Di awal perjuangan itu, beliau melakukan pendekatan kepada orang-orang terdekat semisal keluarga dan sahabat. Hal ini vital karena Nabi sadar bahwa berjuang sendiri tentu tidak efisien dan lebih rentan menghadapi resistensi. Perlu penggalangan dukungan dari mereka yang sevisi untuk memantapkan pencapaian target dari tahapan manajemen tersebut.
Penting untuk dicatat bahwa manajemen di atas selalu dalam koridor wahyu Ilahi. Setiap wahyu dan ilmu yang diterima, beliau ajarkan dengan metode dialog yang sejuk dan penuh rahmat. Nabi selalu membuka lebar atas pertanyaan dan aspirasi dari masyarakat dan senantiasa memberikan jawaban secara proposional dan ringkas (5). Komunikasi beliau tidak frontal, tidak menghakimi adat leluhur, serta lebih pada opsi-opsi dialektika yang sehat dan inklusif. Tanpa pemaksaan, masyarakat kemudian dapat memilih sendiri jalan religi yang mereka yakini. Terbukti dengan metode ini, justru banyak yang simpati dan konsisten menjadi pengikut Nabi.
Dari diseminasi hasil dialog tersebut, masyarakat menjadi paham tentang berbagai rujukan seruan kebaikan. Setelah itu, Nabi melatih masyarakat dengan metode-metode beramal yang simpel namun produktif. Dengan begitu, semua permasalahan dan keragu-raguan dapat diselesaikan secara mandiri oleh masyarakat tanpa bergantung pada kehadiran Nabi. Kita ambil satu contoh yakni ijtihad yang berarti usaha sungguh-sungguh yang dilakukan para ahli agama (selain Nabi) untuk mencapai suatu putusan (simpulan) hukum syarak mengenai kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam Al Quran dan Sunah. Ijtihad kemudian menjadi salah satu sumber dan produk hukum Islam setelah Al Quran dan Sunah. Dapat kita katakan pula bahwa ijtihad merupakan bukti nyata produk peradaban di masa itu.
Berbagai produk hukum di atas lebih menegaskan bahwa pendidikan itu proses mengubah sesuatu atau seseorang. Masyarakat yang dididik Nabi telah berubah dari jahil menjadi masyarakat yang menjunjung tinggi nilai, norma, hukum dan ditopang oleh penguasaan iman, ilmu, dan teknologi yang berperadaban. Sistem dan kelembagaan sosial masyarakat ini kita kenal dengan masyarakat madani. Sistem ini merefleksikan konsep Kota Madinah dikala itu, yang dengan kepemimpinan Nabi berhasil mengintegrasikan berbagai aspek sumber daya.
Bukti nyata produk peradaban lainnya kala itu adalah Piagam Madinah. Menurut Dr. Ahmad Hatta, peneliti pada Lembaga Pengembangan Pesantren dan Studi Islam Al Haramain, Piagam Madinah (622 M) adalah dokumen penting yang membuktikan betapa sangat majunya masyarakat yang dibangun kala itu, di samping juga memberikan penegasan mengenai kejelasan hukum dan konstitusi sebuah masyarakat. Bahkan, dengan menyetir pendapat Hamidullah (First Written Constitutions in the World, Lahore, 1958), Piagam Madinah ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Konstitusi ini secara mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang orang ributkan tentang hak-hak sipil (civil rights), atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American Declaration of Independence, 1997), Revolusi Prancis (1789), dan Deklarasi Universal PBB tentang HAM (1948) dikumandangkan (6).
Nilai-nilai yang terkandung dalam 47 pasal Piagam Madinah menghilhami para founding fathers kita (yang sebagian diantaranya ulama) untuk menyusun Dasar Negara, Pancasila. Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Sistem Pemerintahan dan Keadilan menjadi fundamen peradaban nusantara.
Kemuliaan
Dari hikmah kedua figur pemimpin di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa para pejuang yang telah berkorban untuk cerahnya masa depan kita, pasti bangkit setiap kali jatuh dalam suatu proses usaha. Mereka itulah manusia pembelajar yang sejati. Ilmu-ilmu kehidupan yang Tuhan berikan dalam setiap nikmat dan ujian dunia, mereka olah dan konversi menjadi rumus atau produk pengajaran. Rumus atau produk pengajaran ini sifatnya luhur, aplikatif dan dapat menyesuaikan dengan perubahan zaman.
Kita yang mampu dan mau menerapkan rumus atau produk di atas akan mencapai derajat kedewasaan berpikir sebagai manusia. Kedewasaan berpikir pulalah yang menjadikan kita lebih mudah meng-estafetkan nilai-nilai pengajaran di atas, minimal kepada keluarga maupun orang di sekitar kita. Estafet seperti inilah yang dinamakan kemuliaan hidup. Mengapa begitu? Karena estafet ini merupakan pembentuk lingkaran-lingkaran kecil yang semakin bersatu dan membesar hingga akhirnya menjadi bangsa yang tinggi tingkat peradabannya.
-------------------------------------------------------------------
Penulis : Fajar Nugroho, S.P.,M.Kom (Carik Sidoluhur)
Rujukan:
1. Suhartono Wiryopranoto, dkk., KI HAJAR DEWANTARA ”Pemikiran dan Perjuangannya”, Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ISBN : 978-602-61552-0-7.
2. R. Bambang Widodo., Biografi : Dari Suwardi Suryaningrat Sampai Ki Hadjar Dewantara, Disampaikan pada : Seminar “Perjuangan Ki Hadjar Dewantara dari Politik ke Pendidikan” di Museum Kebangkitan Nasional Jakarta 30 Maret 2017.
3. le Febre, W. 1952.Taman Siswa. Djakarta & Surabaja: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia.
4. http://lib.litbang.kemendagri.go.id/index.php?p=show_detail&id=311
5. https://bppk.kemenkeu.go.id/content/berita/pusdiklat-pajak-metode-pendidian-pembelajaran-dan-pelatihan-nabi-muhammad-2019-11-05-96aaf0cf/
6. https://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat_madani#cite_note-Azra-