Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kepemimpinan memiliki arti perihal pemimpin atau cara memimpin. Kata pemimpin jelas merujuk pada kata benda dalam hal ini orang. Sedangkan memimpin, selain berarti mengetuai atau mengepalai, ada arti yang lebih mendalam yakni melatih supaya dapat mengerjakan sendiri. Hemat kami, pemimpin itu dekat dengan suatu tatanan kemandirian.
"Seorang dapat disebut pemimpin jika ia tengah atau telah mendidik dengan tulus orang yang dipimpinnya menjadi manusia yang mandiri". Dalam kalimat ini terdapat beberapa penekanan yang dapat kita kembangkan. Titik tekan pertama adalah kata "tengah", yang berarti sedang melakukan suatu proses. Ada pergerakan meskipun itu kecil atau baru permulaan. Hal ini menandakan ada tahapan konkrit yang sudah dijalani. Pendidikan yang diaplikasikan juga tak perlu idealis melangit. Hal-hal yang sedikit, sederhana atau simpel justru menjadi pondasi yang kokoh jika memulai sesuatu dari nol. Sesuatu yang baik dan berkah itu bukan karena banyaknya tapi karena konsistensinya meskipun sedikit dan sederhana.
Titik tekan kedua adalah kata "telah", yang berarti sudah selesai melakukan suatu proses. Bagi sebagian orang, ini menjadi suatu kebanggaan tersendiri karena telah berhasil membuktikan menyelesaikan sesuatu. Bagi sebagian lagi, muncul penyesalan karena tak dapat memenuhi ekspektasi. Hal ini menjadi pilihan bagi kita, sehingga kita dapat bersikap dalam menata perencanaan suatu proses.
Mengapa kata "akan" tidak dimunculkan sebelum kata "tengah"? Hal ini dikarenakan orientasi yang dipilih adalah proses yang konkrit, tidak berhenti di angan-angan. Sehingga paradigma setiap manusia dikondisikan dalam suasana dipaksa harus berbuat sesuatu. Pemaksaan hati untuk bergerak, cepat lambat akan mencapai suatu kondisi yang terbiasa. Selanjutnya kondisi terbiasa akan mencapai puncak tangga dengan kondisi butuh akan proses di atas.
Titik tekan ketiga adalah "pendidikan", yang berarti proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Sikap dan tata laku adalah anugerah Tuhan yang membedakan kita dengan makhluk lainnya. Cara mensyukuri anugerah tersebut dapat menentukan derajat kemuliaan seseorang di mata Sang Pencipta. Dalam hal ini cara yang terbaik adalah dengan penerapan ilmu berupa pengajaran dan pelatihan. Kita tak perlu bicara muluk-muluk tentang buku dan teori karena sejatinya pengajaran yang terbaik berasal dari pengalaman-pengalaman kehidupan. Meski begitu, ada kalanya pengalaman seseorang terbatas sehingga perlu dilengkapi dari berbagai literatur.
Salah satu nikmat dari Tuhan adalah bakat, yang dimiliki manusia sejak lahir. Bakat dapat terpendam bila tidak pernah dilatih dengan baik. Padahal nikmat Tuhan tersebut mampu mengantarkan manusia pada suatu elevasi kesuksesan. Sering kali manusia beranggapan bahwa latihannya sia-sia karena tidak sesuai pada bakatnya. Padahal yang lebih utama adalah tetap teguh pada keteraturan latihan yang akan membuat nilai-nilai kejiwaan lebih padat tertempa. Lebih khusus, nilai kejiwaan yang dimaksud adalah naluri perjuangan hidup. Bila disuatu masa seseorang dapat mengenali bakatnya yang sesungguhnya, maka naluri perjuangan tersebut tinggal dipindahkan pada bakat tersebut.
Seorang pemimpin akan melatih yang dipimpinnya dengan edukasi yang sederhana namun komprehensif. Implementasi pelatihan seyogyanya lebih condong pada keseimbangan antaran nilai-nilai kejiwaan dengan kurikulum pengajaran. Keseimbangan tersebut akan membuahkan perubahan menuju kedewasaan attitude dan optimalisasi aptitute.
Titik tekan keempat adalah "ketulusan", yang berarti kesungguhan dan kebersihan hati. Setiap proses yang diilhami dengan ketulusan akan melintas di atas jalan keberkahan. Permasalahan yang timbul disetiap ruas jalan keberkahan ini, akan ringan menemukan solusinya. Panduannya jelas, disetiap kesulitan pasti ada kemudahan.
Titik tekan kelima adalah "kemandirian", yang berarti keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Definisi ini harus didudukkan dalam persepsi yang benar tentang kita sebagai seorang insan. Pada dasarnya insan adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan orang lain. Interaksi tersebut dapat berwujud komunikasi verbal dan non verbal dengan tujuan membantu, menolong, mencintai dan sebagainya. Kemandirian di sini lebih kita resapi sebagai keadaan ketika seseorang mampu memahami dan melakukan suatu proses dalam semesta interaksi sosial. Jadi, terminologi kemandirian tidak kita pakai ketika dalam suatu proses justru membuat seseorang menjadi individualis apalagi anti sosial.
--------------------------------------------------------------
Penulis : Fajar Nugroho, S.P.,M.Kom (Carik Sidoluhur)
Referensi : Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)