Waktu akan terus berputar hingga Tuhan berkehendak untuk menghentikannya. Di setiap masa, manusia ditakdirkan menjadi pemimpin dengan kapasitas masing-masing untuk mengelola dunia ini. Pemimpin yang tidak memanfaatkan waktu dengan baik maka baginya kerugian yang nyata.
Berkaitan dengan waktu suatu proses, setidaknya ada tiga kata yang dapat mewakili yakni "akan", "tengah" dan "telah". Pada terminologi sebelumnya, titik tekan yang ditonjolkan adalah "tengah" dan "telah". Meski demikian, kita juga tak boleh meremehkan kata "akan". Kata "akan" ini kaya akan unsur hakikat kehidupan yang salah satunya adalah nawaitu dengan nama Tuhan. Nawaitu ini harus selalu digantungkan kepada Tuhan untuk menstabilkan gelombang jiwa yang mudah pasang dan surut diterpa angin nafsu. Jiwa yang stabil tersebut menjadi rem terbaik agar manusia tidak menabrak berbagai kesempatan yang buruk. Ingat, kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelaku tapi juga karena ada kesempatan.
Kembali kepada titik tekan di awal tadi yakni kata "tengah" dan "telah". Dua kata ini bila disandang oleh manusia maka muncul persepsi tentang suatu pergerakan. Hal ini sesuai dengan salah satu ciri makhluk hidup yakni bergerak.
Di jenjang pendidikan anak-anak, kita diajarkan tentang gerak dengan makna sekedar aktivitas tubuh. Selanjutnya di jenjang pendidikan menengah, kita mulai masuk suatu era dan lingkungan dengan slogan-slogan yang filosofis. Bisa kita ambil contoh slogan seperti "bergerak atau tergantikan" dan sebagainya. Slogan-slogan ini muncul dari pengembangan etimologi sebagai buah dari bertumbuhnya akal budi manusia. Sebagai contoh, kata hati tak hanya dimaknai bagian dari organ tubuh namun lebih pada sifat batin manusia. Pemakaian kata gerak juga berkembang sehingga pemaknaannya pun dapat meliputi berbagai proses untuk mengeskpresikan kecenderungan nurani. Ekspresi dalam tulisan ini adalah segala upaya menggerus kemalasan manusia, sehingga berujung pada perubahan dalam berbagai hal.
Seyogianya kita bersyukur kepada Tuhan serta berterimakasih kepada para pendiri negeri ini, yang telah menanamkan berbagai benih kebaikan. Salah satunya adalah benih keberanian bergerak untuk mencapai perubahan. Tanpa benih ini mustahil kemerdekaan dapat diraih, muskil reformasi dapat dicapai, lengkara pula keadilan dapat ditegakkan.
Ada sebuah kisah tentang seorang remaja bernama Sutomo. Ia dikenal sebagai anak sekolah yang malas belajar, nakal dan suka mencari masalah. Sutomo memang terlahir di keluarga yang terpandang, berkucupan, dan ia pun cukup dimanja orang tuanya. Mungkin hal tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi kelakuannya waktu itu. Namun itu tak berlangsung lama. Beberapa tahun ajaran kemudian, ia memutuskan untuk bergerak menjauhi kelakukan negatif itu dan bertekad menjadi manusia yang lebih bermanfaat. Gerak perubahan itu terjadi secara bertahap tapi pasti, mulai dari kemampuan akademisnya hingga ketajaman naluri kebangsaannya. Terbukti di tahun-tahun selanjutnya, ketika Belanda semakin gila untuk menjajah, ia bersama rekan mahasiswa lainnya mendirikan Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Meski dikenal bergerak di bidang sosial, ekonomi dan budaya, namun organisasi ini sebenarnya adalah wadah perjuangan para pemuda melawan Belanda. Organisasi ini juga dikenal sebagai awal pergerakan yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Lebih lanjut, kemauan kuat dalam diri Sutomo akhirnya mengantarkan dirinya lulus sebagai seorang dokter.
Kisah singkat tersebut merupakan satu dari sekian ajaran keteladanan para pejuang bangsa. Mereka juga telah mengajarkan kepada kita selaku generasi penerus, tentang cara merawat berbagai benih kebaikan di atas. Mereka tidak menuntut kita bergerak sehingga menghasilkan suatu produk atau peristiwa yang besar. Gerakan yang mereka citakan adalah wujud aksi membangun bangsa yang dimulai segera dari masing-masing kita. Meski kecil atau sederhana, penyegeraan tersebut bila didasari dengan nawaitu yang tepat, maka akan menempatkan seseorang dalam suatu peran yang istimewa.
Sekarang mari kita resapi perjuangan seorang wanita kelahiran Bengkulu bernama Fatmawati. Pendamping hidup Sukarno ini dikenal sebagai isteri yang salehah sekaligus pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Hitungan bulan menuju kemerdekaan, ibu kita ini diberikan peran sebagai penjahit bendera dwiwarna. Saat itu ia dihadapkan dengan beberapa tantangan yakni : pertama, dokter malarangnya menggunakan kaki untuk menggerakkan mesin jahit karena sudah hamil tua; kedua, susahnya mendapatkan kain merah putih karena barang eks impor dikuasai Jepang.
Bertemu aral seperti itu apakah ciut nyalinya? Jawabnya tentu tidak. Ia tidak ingin proses itu berhenti pada gagasan. Ia harus tetap bergerak! Ia paham kelemahannya adalah kondisi fisiknya dan tantangannya adalah minimal dua hal di atas. Tapi ia melihat peluang emas ketika seorang Jepang membantunya mendapatkan kain merah putih. Semangatnya pun membara! Dilarang pakai kaki, ia pun menjahit hanya dengan kedua tangannya. Dengan kondisi yang cukup rentan itu, kerap pula ia menitikkan air mata saat menjahit. Ia tetap fokus berjuang hingga bendera pusaka itu selesai dalam dua hari pengerjaan. Inilah kekuatan yang nyata, pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa.
Begitu banyak hikmah yang dapat diambil dari perjuangan para pendiri negeri ini. Salah satunya tentang kekuatan mental seorang pemimpin untuk beraksi nyata. Bukan waktunya lagi kita memperlambat laju apalagi berputar haluan karena khawatir tentang kelemahan dan tantangan. Tuhan memang telah menggariskan kedua hal tersebut sebagai fitrah dari kehidupan kita. Namun disetiap garis tersebut ditempatkan pula kekuatan dan peluang yang harus diambil, bukan malah ditunggu apalagi diragukan.
Persoalannya sekarang ada pada kita sendiri, apakah kita akan apatis karena berada di zona nyaman?
Tak perlu berlebih dalam berpikir, segera bergerak!
--------------------------------------------------------------
Penulis : Fajar Nugroho, S.P.,M.Kom (Carik Sidoluhur)
Referensi : Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)